Suku Tengger, masyarakat adat yang mendiami kawasan pegunungan Bromo-Semeru di Jawa Timur, memiliki beragam tradisi unik yang masih dilestarikan hingga kini. Salah satunya adalah tradisi kejantanan yang diwujudkan dalam ritual “Ojong”. Tradisi kejantanan ini merupakan sebuah pertunjukan adu kekuatan fisik antara dua orang pria menggunakan rotan sebagai alat pemukul. Meskipun terlihat keras, tradisi kejantanan Ojong memiliki makna yang lebih dalam bagi masyarakat Tengger, bukan sekadar unjuk kekuatan semata.
Tradisi kejantanan Ojong biasanya dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu, seringkali berkaitan dengan upacara adat atau perayaan desa, seperti pada saat perayaan Yadnya Kasada yang jatuh pada Purnama Kesanga, sekitar bulan Juni atau Juli tahun 2025. Lokasi pelaksanaan tradisi ini umumnya berada di ruang terbuka di tengah desa, seperti alun-alun atau lapangan desa Ranupani di Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang. Ritual ini disaksikan oleh seluruh masyarakat Desa Ranupani, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, yang memadati arena pertunjukan yang dibatasi oleh tali bambu.
Sebelum tradisi Ojong dimulai, biasanya dilakukan serangkaian persiapan dan ritual pembuka oleh sesepuh adat atau pemangku adat setempat, seperti Bapak Sutomo, Kepala Adat Desa Ranupani. Para peserta yang akan bertanding, umumnya pemuda atau pria dewasa berusia antara 20 hingga 40 tahun yang dianggap memiliki kekuatan fisik yang prima, akan melakukan pemanasan dengan gerakan peregangan dan saling memberi semangat dengan berjabat tangan. Mereka mengenakan pakaian adat Tengger yang khas, seperti udeng berwarna putih polos, kemeja lengan panjang berwarna hitam, dan sarung kotak-kotak berwarna gelap yang dililitkan di pinggang. Alat yang digunakan dalam tradisi ini adalah sebilah rotan jenis sega dengan panjang sekitar 1,5 meter dan diameter sekitar 2-3 sentimeter yang telah dikeringkan dan dihaluskan.
Dalam pertunjukan tradisi kejantanan Ojong, dua orang pria akan saling berhadapan di dalam arena berdiameter sekitar 5 meter yang telah ditentukan. Dipimpin oleh seorang wasit yang juga merupakan tokoh masyarakat yang dihormati, seperti Bapak Kepala Dusun Cemoro Lawang, mereka akan saling memukul bagian tubuh lawan (biasanya bagian punggung atau bahu) secara bergantian setelah aba-aba dari wasit. Pukulan dilakukan dengan tenaga penuh, namun tetap dalam batas aturan yang telah disepakati, yaitu tidak diperbolehkan memukul bagian kepala atau alat vital. Pertandingan akan berakhir apabila salah satu peserta menyerah dengan mengangkat tangan karena tidak mampu lagi menerima pukulan atau dinyatakan kalah oleh wasit jika terjatuh dan tidak mampu bangkit dalam hitungan tertentu. Meskipun terlihat keras, semangat sportivitas dan persaudaraan sangat dijunjung tinggi dalam tradisi kejantanan ini, dan setelah pertandingan usai, para peserta akan saling berpelukan sebagai tanda persahabatan.
Makna filosofis dari tradisi kejantanan Ojong sangat kaya. Selain sebagai ajang unjuk kekuatan fisik, ritual ini juga melambangkan keberanian, ketangguhan, dan semangat pantang menyerah masyarakat Tengger dalam menghadapi berbagai tantangan hidup di lingkungan pegunungan yang keras. Tradisi kejantanan ini juga menjadi sarana untuk mempererat tali silaturahmi antar warga desa Ranupani dan melestarikan nilai-nilai budaya leluhur yang telah diwariskan secara turun-temurun. Meskipun terkadang menimbulkan luka memar pada bagian tubuh yang terkena pukulan rotan, tradisi kejantanan Ojong tetap menjadi bagian penting dari identitas dan warisan budaya Suku Tengger yang patut dijaga kelestariannya oleh generasi muda Tengger seperti Karang Taruna “Bromo Jaya” Desa Ranupani.