Kategori: Budaya

Mengenal Batik Mega Mendung Cirebon: Motif dan Filosofi Awan

Mengenal Batik Mega Mendung Cirebon: Motif dan Filosofi Awan

Di antara kekayaan wastra Nusantara, Batik Mega Mendung dari Cirebon menempati posisi istimewa berkat motifnya yang unik dan filosofi mendalam. Motif awan berarak yang khas ini telah menjadi ikon budaya Cirebon, melampaui sekadar kain menjadi simbol kesabaran dan kepemimpinan yang bijaksana. Motif Batik Mega Mendung diyakini kuat memiliki pengaruh Tiongkok, dibawa melalui pernikahan Sunan Gunung Jati dengan Putri Ong Tien dari Tiongkok pada abad ke-16. Sejarah akulturasi budaya ini membuat motif Mega Mendung berbeda dari motif batik lain di Jawa, yang kebanyakan terinspirasi dari alam flora dan fauna. Keindahan Mega Mendung tidak hanya terletak pada visualnya tetapi juga pada kisah historisnya.

Filosofi di balik Batik Mega Mendung sangat kaya. Kata “mega” berarti awan, dan “mendung” merujuk pada suasana mendung yang membawa hujan. Awan mendung diibaratkan sebagai gambaran hati manusia yang harus tetap tenang, teduh, dan sabar meskipun sedang menghadapi masalah atau emosi yang bergejolak. Dalam konteks kepemimpinan, motif ini mengajarkan bahwa seorang pemimpin harus bisa bersikap adil dan teduh, layaknya awan yang menaungi tanpa memihak. Motif ini umumnya menampilkan tujuh gradasi warna biru yang mewakili tujuh lapisan langit. Berdasarkan penelitian yang dirilis oleh Pusat Studi Budaya Nusantara pada 17 Juli 2024, penggunaan tujuh warna ini juga dikaitkan dengan tujuh hari dalam seminggu, melambangkan keabadian dan siklus waktu yang terus berputar.

Secara visual, motif Batik Mega Mendung harus digambar dengan garis tebal yang menunjukkan ketegasan, diikuti garis tipis yang menunjukkan bahwa setiap ketegasan harus didasari oleh kelembutan dan kebijaksanaan. Teknik pewarnaan dalam batik Cirebon yang otentik, khususnya pada motif ini, sering menggunakan pewarna alam. Dinas Koperasi dan UKM setempat mencatat pada 1 Januari 2025 bahwa program pelatihan intensif selama enam bulan telah diberikan kepada 150 perajin batik lokal, fokus pada revitalisasi penggunaan pewarna alam indigo dan soga, yang mampu menghasilkan nuansa biru dan coklat yang lebih kaya dan tahan lama. Program ini bertujuan menjaga keaslian dan mutu produk ekspor.

Meskipun merupakan warisan budaya, Batik Mega Mendung terus berkembang dalam desain dan aplikasinya. Kini, motif ini tidak hanya diaplikasikan pada kain, tetapi juga pada kerajinan tangan, aksesori, hingga interior rumah. Untuk melindungi warisan ini dari klaim pihak asing, batik Cirebon, termasuk motif Mega Mendung, telah didaftarkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Perlindungan ini diperkuat oleh Kepolisian Wilayah setempat yang pada hari Senin, 5 Agustus 2024, menindak tegas kasus pemalsuan label batik berlogo WBTB, menjamin bahwa produk yang beredar adalah asli dan diakui keasliannya.

Suasana Keseruan Saat Karapan Kerbau di Sawah Lumajang

Suasana Keseruan Saat Karapan Kerbau di Sawah Lumajang

Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, memiliki kekayaan tradisi yang unik dan menarik, salah satunya adalah karapan kerbau. Bukan sekadar perlombaan adu cepat, karapan kerbau di Lumajang menyuguhkan pemandangan yang memukau dengan kerbau-kerbau yang dihias indah dan joki-joki yang penuh semangat memacu hewan peliharaannya di lintasan sawah yang berlumpur. Suasana keseruan dan kegembiraan selalu mewarnai setiap gelaran karapan kerbau ini.

Tradisi karapan kerbau di Lumajang diperkirakan telah ada sejak lama dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat agraris setempat. Selain sebagai ajang hiburan, karapan juga memiliki nilai sosial dan budaya yang mendalam. Kegiatan ini seringkali menjadi momen silaturahmi antar warga desa, sekaligus menjadi wadah untuk melestarikan tradisi dan kearifan lokal. Para pemilik kerbau berlomba-lomba untuk menampilkan kerbau terbaik mereka, baik dari segi kecepatan maupun hiasan yang dikenakan.

Gelaran karapan biasanya diadakan setelah musim panen padi, sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil bumi yang melimpah. Lokasi perlombaan umumnya adalah area persawahan yang telah disiapkan khusus dengan lintasan lurus sepanjang beberapa puluh meter. Kerbau-kerbau yang akan berlaga dihias dengan berbagai ornamen warna-warni, seperti kain, bunga, dan lonceng, menambah semarak suasana. Para joki, dengan pakaian tradisional, berdiri di atas alat kayu yang ditarik oleh sepasang kerbau dan berusaha mengendalikan hewan-hewan tersebut agar melaju secepat mungkin menuju garis finish.

Sorak sorai penonton yang memadati pinggir sawah menambah riuh suasana karapan kerbau. Mereka memberikan semangat kepada para joki dan kerbau andalannya. Tak jarang, insiden lucu seperti joki terjatuh atau kerbau yang keluar jalur juga mewarnai perlombaan, menambah keseruan bagi para penonton. Karapan kerbau di Lumajang bukan hanya sekadar tontonan, tetapi juga sebuah perayaan budaya yang hidup dan terus dilestarikan oleh masyarakat setempat. Keunikan tradisi ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang ingin menyaksikan kekayaan budaya Indonesia yang otentik. Biasanya, acara ini digelar pada hari Minggu di area persawahan Desa Jatirejo, Kecamatan Kunir, Lumajang, setelah musim panen kedua sekitar bulan September atau Oktober. Namun, jadwal pastinya dapat berubah setiap tahun.

Mengungkap Tradisi Kejantanan Ojong: Ritual Unik Suku Tengger di Desa Ranupani, Jawa Timur

Mengungkap Tradisi Kejantanan Ojong: Ritual Unik Suku Tengger di Desa Ranupani, Jawa Timur

Suku Tengger, masyarakat adat yang mendiami kawasan pegunungan Bromo-Semeru di Jawa Timur, memiliki beragam tradisi unik yang masih dilestarikan hingga kini. Salah satunya adalah tradisi kejantanan yang diwujudkan dalam ritual “Ojong”. Tradisi kejantanan ini merupakan sebuah pertunjukan adu kekuatan fisik antara dua orang pria menggunakan rotan sebagai alat pemukul. Meskipun terlihat keras, tradisi kejantanan Ojong memiliki makna yang lebih dalam bagi masyarakat Tengger, bukan sekadar unjuk kekuatan semata.

Tradisi kejantanan Ojong biasanya dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu, seringkali berkaitan dengan upacara adat atau perayaan desa, seperti pada saat perayaan Yadnya Kasada yang jatuh pada Purnama Kesanga, sekitar bulan Juni atau Juli tahun 2025. Lokasi pelaksanaan tradisi ini umumnya berada di ruang terbuka di tengah desa, seperti alun-alun atau lapangan desa Ranupani di Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang. Ritual ini disaksikan oleh seluruh masyarakat Desa Ranupani, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, yang memadati arena pertunjukan yang dibatasi oleh tali bambu.

Sebelum tradisi Ojong dimulai, biasanya dilakukan serangkaian persiapan dan ritual pembuka oleh sesepuh adat atau pemangku adat setempat, seperti Bapak Sutomo, Kepala Adat Desa Ranupani. Para peserta yang akan bertanding, umumnya pemuda atau pria dewasa berusia antara 20 hingga 40 tahun yang dianggap memiliki kekuatan fisik yang prima, akan melakukan pemanasan dengan gerakan peregangan dan saling memberi semangat dengan berjabat tangan. Mereka mengenakan pakaian adat Tengger yang khas, seperti udeng berwarna putih polos, kemeja lengan panjang berwarna hitam, dan sarung kotak-kotak berwarna gelap yang dililitkan di pinggang. Alat yang digunakan dalam tradisi ini adalah sebilah rotan jenis sega dengan panjang sekitar 1,5 meter dan diameter sekitar 2-3 sentimeter yang telah dikeringkan dan dihaluskan.

Dalam pertunjukan tradisi kejantanan Ojong, dua orang pria akan saling berhadapan di dalam arena berdiameter sekitar 5 meter yang telah ditentukan. Dipimpin oleh seorang wasit yang juga merupakan tokoh masyarakat yang dihormati, seperti Bapak Kepala Dusun Cemoro Lawang, mereka akan saling memukul bagian tubuh lawan (biasanya bagian punggung atau bahu) secara bergantian setelah aba-aba dari wasit. Pukulan dilakukan dengan tenaga penuh, namun tetap dalam batas aturan yang telah disepakati, yaitu tidak diperbolehkan memukul bagian kepala atau alat vital. Pertandingan akan berakhir apabila salah satu peserta menyerah dengan mengangkat tangan karena tidak mampu lagi menerima pukulan atau dinyatakan kalah oleh wasit jika terjatuh dan tidak mampu bangkit dalam hitungan tertentu. Meskipun terlihat keras, semangat sportivitas dan persaudaraan sangat dijunjung tinggi dalam tradisi kejantanan ini, dan setelah pertandingan usai, para peserta akan saling berpelukan sebagai tanda persahabatan.

Makna filosofis dari tradisi kejantanan Ojong sangat kaya. Selain sebagai ajang unjuk kekuatan fisik, ritual ini juga melambangkan keberanian, ketangguhan, dan semangat pantang menyerah masyarakat Tengger dalam menghadapi berbagai tantangan hidup di lingkungan pegunungan yang keras. Tradisi kejantanan ini juga menjadi sarana untuk mempererat tali silaturahmi antar warga desa Ranupani dan melestarikan nilai-nilai budaya leluhur yang telah diwariskan secara turun-temurun. Meskipun terkadang menimbulkan luka memar pada bagian tubuh yang terkena pukulan rotan, tradisi kejantanan Ojong tetap menjadi bagian penting dari identitas dan warisan budaya Suku Tengger yang patut dijaga kelestariannya oleh generasi muda Tengger seperti Karang Taruna “Bromo Jaya” Desa Ranupani.

Theme: Overlay by Kaira Extra Text
Cape Town, South Africa

journal.pafibungokab.org

learn.pafipemkotkerinci.org

news.pafipemkotpalopo.org